Minggu, 10 September 2023

Lebih mengenal Norbertus Riantiarno

 Lebih mengenal Norbertus Riantiarno



Norbertus Riantiarno (6 Juni 1949 – 20 Januari 2023), atau biasa dipanggil Nano Riantiarno atau N. Riantiarno, adalah seorang aktor, penulis, sutradara, wartawan, dan tokoh teater Indonesia yang mendirikan Teater Koma pada 1977. Dia adalah suami dari aktris Ratna Riantiarno.


 




*Karier teater


Nano telah aktif di teater sejak 1965 di kota kelahirannya, Cirebon. Setamatnya dari SMA pada 1967, ia melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta, kemudian pada 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Dia bergabung dengan Teguh Karya, salah seorang dramawan terkemuka Indonesia dan ikut mendirikan Teater Populer pada 1968. Pada 1 Maret 1977, dia mendirikan Teater Koma, salah satu kelompok teater yang paling produktif di Indonesia saat ini.

 Sampai 2006, kelompok ini telah menggelar sekitar 111 produksi panggung dan televisi.




*Karier kepenulisan


Nano banyak menulis skenario film dan televisi. Karya skenarionya, Jakarta Jakarta, meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang, 1978. Karya sinetronnya, Karina meraih Piala Vidia pada Festival Film Indonesia di Jakarta, 1987.


Menulis novel Cermin Merah, Cermin Bening, dan Cermin Cinta, diterbitkan oleh Grasindo, 2004, 2005 dan 2006. ''Ranjang Bayi'' dan 18 fiksi, kumpulan cerita pendek, diterbitkan Kompas, 2005. Roman Primadona, diterbitkan Gramedia 2006.


Nano ikut mendirikan majalah Zaman, 1979, dan bekerja sebagai redaktur (1979-1985). Ia ikut pula mendirikan majalah Matra, 1986, dan bekerja sebagai pemimpin redaksi.[2] Pada tahun 2001, pensiun sebagai wartawan. Kini berkiprah hanya sebagai seniman dan pekerja teater, serta pengajar di program pasca-sarjana pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta.

____

Cat:

Sabtu, 09 September 2023

Roehana Koeddoes sebagai Wartawati Pertama Indonesia

 Roehana Koeddoes sebagai Wartawati Pertama Indonesia 




Roehana Koeddoes (EBI: Ruhana Kuddus, atau Rohana Kudus dalam versi populer[note 1] 20 Desember 1884 – 17 Agustus 1972) adalah wartawati pertama Indonesia.


Pada 1911, Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia. 


Ketika dibredel pemerintah Hindia-Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia.


Roehana hidup pada zaman yang sama dengan Kartini, ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.



*Latar belakang


Ia dilahirkan sebagai Siti Ruhana pada tanggal 20 Desember 1884 di desa (nagari) Koto Gadang, Kabupaten Agam, di pedalaman Sumatra Barat, Hindia Belanda.


 Ayahnya Mohammad Rasjad Maharadja Soetan adalah kepala jaksa Karesidenan Jambi dan kemudian Medan. Ruhana adalah saudara tiri Sutan Sjahrir, dan sepupu Agus Salim, baik intelektual dan politisi penting dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.[6] Dia juga bibi (mak tuo) penyair Indonesia Chairil Anwar. 


Ruhana cerdas meski tidak mengenyam pendidikan formal. Dia sering belajar dengan ayahnya, yang mengajarinya membaca dan studi bahasa. Ketika ayahnya ditugaskan di Alahan Panjang, Sumatera Barat, dia meminta tetangganya (termasuk istri jaksa lain) untuk mengajarinya membaca dan menulis dalam aksara Jawi dan Latin, dan keterampilan rumah tangga seperti membuat renda.


Setelah kematian ibunya pada tahun 1897, ia kembali ke Koto Gadang dan menjadi semakin tertarik untuk mengajar gadis-gadis di sana untuk belajar kerajinan tangan dan membaca Al-Qur'an, meskipun ia sendiri masih anak-anak.


Roehana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. 


Pada zamannya Roehana termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Roehana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.


Walaupun Roehana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Roehana bahan bacaan dari kantor. 


Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Roehana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Roehana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Roehana bertetangga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. 


Dari istri pejabat Belanda itu Roehana belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Roehana.

____

Cat :

Mahyuddin Datuk Sutan Maharadja sebagai Bapak Wartawan Melayu

 Mahyuddin Datuk Sutan Maharadja sebagai Bapak Wartawan Melayu 




Mahyuddin Datuk Sutan Maharadja (lahir di Sulit Air, Solok, Sumatra Barat tahun 1858 - wafat di Padang tahun 1921) adalah wartawan Indonesia dan perintis pers Melayu. Dia juga merupakan tokoh adat Minangkabau yang terkemuka.


Ia digelari sebagai "bapak para wartawan Melayu" oleh profesor etnologi Belanda, BJO Schrieke.


*Kehidupan


Mahyuddin merupakan salah seorang perintis pers pribumi yang banyak mendirikan dan menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia. Pada akhir abad ke-19, dia memimpin dua surat kabar berbahasa Indonesia, yaitu Pelita Ketjil (didirikan pada 1 Februari 1886) dan Tjahaya Soematra (1897). Pada tahun 1901, Mahyuddin menerbitkan dan memimpin surat kabar Warta Berita. 


Surat kabar ini merupakan salah satu surat kabar pertama di Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia, dipimpin, dan dicetak oleh orang Indonesia. Kemudian dia menjadi pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe di Padang. 


Dalam surat kabar tersebut tertera: "Achbar ini ditjitak pada pertjitakan orang Minangkabau." Melalui kalimat ini, Mahyuddin ingin menunjukkan kemampuan kaum Minangkabau dalam menguasai usaha surat kabar dan percetakan, yang ketika itu banyak dijalankan oleh orang-orang Belanda. Pada tahun 1911, bersama Rohana Kudus, dia menerbitkan koran perempuan Soenting Melajoe.


Mahyuddin merupakan tokoh yang peduli dengan kemajuan dan nasib bangsanya. Oleh karenanya atas inisiatifnya, pada tahun 1888 berdiri organisasi sosial Medan Keramean. 


Pada tahun 1911, dia mendirikan organisasi Perserikatan Orang Alam Minangkerbau, yang giat menyokong kemajuan adat Minang. 


Sebagai tokoh adat terkemuka, Mahyuddin sering berpolemik dengan tokoh-tokoh puritan seperti Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Abdullah Ahmad, dan Abdul Karim Amrullah. 


Pada akhir tahun 1911, Mahyuddin mendirikan percetakan surat kabar Snelpersdrukkerij Orang Alam Minangkabau yang banyak mencetak koran-koran berbahasa Indonesia.

____

Cat :

Frans Soemarta Mendur sebagai Photografer Proklamasi Kemerdekaan RI

 

Frans Soemarta Mendur sebagai Photografer Proklamasi Kemerdekaan RI




Frans Soemarta Mendur (16 April 1913 – 24 April 1971) adalah salah satu dari para fotografer yang mengabadikan detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Bersama saudara kandungnya, Alex Mendur, mereka turut mengabadikan persitiwa bersejarah ini.Frans Mendur bersama Alex Mendur, Justus Umbas, Frans "Nyong" Umbas, Alex Mamusung dan Oscar Ganda, kemudian mendirikan IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) pada 2 Oktober 1946.



Frans adalah anak keempat dari sebelas anak Agustus Mendur dan Ariantje Mononimbar.

Frans adalah seorang fotografer jurnalistik Indonesia yang foto-foto Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah satu-satunya foto yang diterbitkan dari acara bersejarah tersebut. Dia juga memotret foto ikonik lainnya yang merekam perjuangan bangsa muda.

Frans bekerja di surat kabar Asia Raya ketika ia mendengar bahwa proklamasi akan diumumkan oleh Sukarno di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56.[4] Setelah kemerdekaan, Frans bekerja sebentar di surat kabar Merdeka.

Frans bersama saudara lelakinya, Alex, menerima Bintang Jasa Utama pada 9 November 2009 untuk peran jurnalistik foto mereka pada awal republik.




Tahun berikutnya, mereka menerima Bintang Mahaputera Nararya pada 12 November 2010.Sebuah monumen untuk menghormati mereka di kampung halaman mereka di Kawangkoan didedikasikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 Februari 2013.
___
Cat :

Atang Ruswita dalam hubungannya dengan Pers Nasional

 Atang Ruswita dalam hubungannya dengan Pers Nasional





*Pemahaman Umum


Atang Ruswita (26 April 1933 – 13 Juni 2003) merupakan seorang wartawan dan pemimpin umum berkebangsaan Indonesia. Selama hidupnya, ia mendedikasikan dirinya untuk dunia jurnalistik dan kemanusiaan. Atang Ruswita meninggal dunia pada tahun 2003 karena menderita kanker paru-paru. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak.



*Karier


Pemimpin redaksi Pikiran Rakyat.

Ketua IPPI Cimahi (1950-1952),

Ketua PWI Cabang Bandung (1967),

Ketua Pelaksana Harian PWI Pusat (1973-1986),

Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Anggota DPR-MPR RI (1978-1982).


*Penghargaan


Menjelang peringatan Hari Proklamasi 14 Agustus 1998, ia memperoleh anugerah tanda kehormatan Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah yang disampaikan langsung oleh Presiden B.J. Habibie di Istana Negara, Jakarta.

___

Cat :

Sabam Pandapotan Siagian sebagai salah satu Tokoh Pers Indonesia

 Sabam Pandapotan Siagian sebagai salah satu Tokoh Pers Indonesia 



Sabam Pandapotan Siagian (4 Mei 1932 – 3 Juni 2016) adalah wartawan Indonesia dan Duta Besar RI di Australia periode 1991 - 1995.[1] Sabam meninggal dunia dalam usia 84 tahun di RS. Siloam Semanggi.


Karena orangtuanya menginginkan dia menjadi sarjana hukum – selain pendeta – ia masuk ke Fakultas Hukum dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia. Karena tidak terlalu tertarik ia memutuskan untuk pindah ke Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN) yang akhirnya tidak selesai juga. 


Sempat mengikuti pendidikan ilmu politik di Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika Serikat, tetapi itu pun tidak ia selesaikan. Kemudian pada 1978, ia mengikuti program Nieman Fellow for Journalism dari Harvard University, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat.


Sepulang dari New York, Amerika Serikat, ia ingin terjun ke bisnis, karena Sabam merasa sudah memiliki koneksi di Amerika. Tetapi waktu itu, Sinar Harapan sedang melakukan reorganisasi besar-besaran. Kebetulan, ayahnya, Pendeta Siagian, salah satu pemegang sahamnya sehingga akhirnya untuk pertama kalinya ia terjun ke dunia jurnalisme yang sesungguhnya.


Selain itu pada tahun 1950-an, ia pernah mengelola majalah milik Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Kemudian bersama beberapa teman, antara lain Wicaksono dan Alwi Dahlan, ia ikut menggagaskan penndirian Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.


Pada pertengahan tahun 1960-an, ia bekerja di bagian riset perwakilan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).


Ia juga menyandang tanda kehormatan bintang jasa utama. Setelah usai dari karier diplomat-nya ia kembali ke dunia pers dan berkutat di Suara Pembaruan sebagai presiden komisaris dan The Jakarta Post dan termasuk dalam Dewan Tajuk Rencana. Ia juga menjadi ketua Indonesia-Australia Business Council selama nenerapa waktu.


Pada 1983, ia kerap mengupas masalah internasional di The Jakarta Post, koran berbahasa Inggris yang turut didirikannya. Sebagai jurnalis senior, ia tentunya banyak bergaul dengan kalangan diplomat di Jakarta

___

Cat :

Jumat, 08 September 2023

Sekilas info Prof. Dr. Andi Abdul Muis sebagai Tokoh Pers

 Sekilas info Prof. Dr. Andi Abdul Muis sebagai Tokoh Pers 



Prof. Dr. Andi Abdul Muis (Pulau Kalukuang, Kabupaten Pangkep, 4 Desember 1929–Makassar, 6 Agustus 2005) adalah seorang pakar ilmu komunikasi dan pejuang kebebasan pers Indonesia.


Prof. Dr. Andi Abdul Muis (Pulau Kalukuang, Kabupaten Pangkep, 4 Desember 1929–Makassar, 6 Agustus 2005) adalah seorang pakar ilmu komunikasi dan pejuang kebebasan pers Indonesia.


Setelah lulus SMA pada tahun 1952, Muis masuk Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia. Karena kondisi keuangan yang tak memungkinkan, ia kembali ke Makassar dan bergabung dengan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta).


Pada tahun 1956–1959, ia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Harian Tindjauan yang kemudian berubah menjadi harian Bara. Tahun 1958, akibat tulisannya, Muis dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer Makassar selama setahun. Setelah keluar dari tahanan, ia melanjutkan studi di Fakultas Hukum bagian Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan dan Bagian Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) dan lulus tahun pada 1965.


Ia lalu menjadi staf pengajar Jurusan Ilmu Publisistik, yang kemudian masuk dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas. Pada tahun 1982, gelar doktor komunikasi diraihnya dari Universitas Hasanuddin. Setahun kemudian, Muis diangkat menjadi Guru Besar Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Hasanuddin. Muis juga lalu menjadi Ketua Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sahid di Jakarta.


Muis kerap menjadi saksi ahli dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan kebebasan pers. Tulisannya mengenai masalah komunikasi, pers, hukum, dan demokrasi sering muncul di berbagai media.


Istrinya, Yohana, dinikahinya pada tahun 1958. Yohana meninggal dunia pada 31 Juli 2005. Dari pernikahannya dengan Yohana itu, ia mempunyai seorang putri dan empat cucu

___

Cat :

Sekilas info Goenawan Soesatyo Mohamad sebagai Tokoh Pers

 Sekilas info  Goenawan Soesatyo Mohamad sebagai Tokoh Pers 



Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir 29 Juli 1941) adalah seorang sastrawan dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Ia juga salah seorang pendiri majalah Tempo. Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.


Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang memiliki pandangan yang liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.

___

Cat :

Lebih mengenal Dja Endar Moeda Harahap sebagai Tokoh Pers

 Lebih mengenal Dja Endar Moeda Harahap sebagai Tokoh Pers 



Dja Endar Moeda atau lengkapnya Dja Endar Moeda Harahap adalah perintis pers berbahasa Melayu kelahiran Padang Sidempuan, 1861. 


Dididik sebagai guru di sekolah pengajaran guru di Padang Sidempuan, kariernya di dunia pers dimulai sebagai redaktur untuk jurnal bulanan Soeloeh Pengadjar pada 1887.


Sepulangnya dari naik haji tahun 1893 Dja Endar Moeda memutuskan untuk bermukim di Kota Padang. Di sana, selain mendirikan sekolah swasta ia menjadi redaktur Pertja Barat, yang didirikan oleh Lie Bian Goan. Pada tahun 1905, Dja Endar Moeda membeli Pertja Barat. 


Dja Endar Moeda juga mendirikan beberapa media cetak lain di Medan dan Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Pemberita Atjeh didirikan pada 1906. 


Dengan rekan-rekannya di Sjarikat Tapanuli dia menerbitkan Pewarta Deli, dengan dirinya sebagai pemimpin redaksi. Pada 1911, setelah keluar dari Pewarta Deli, Dja Endar Moeda menerbitkan Bintang Atjeh.Dia wafat di Kotaraja pada tahun 1926.

___

Cat :

Rabu, 06 September 2023

Abdoel Rivai sebagai Tokoh Pers Nasional

 

Abdoel Rivai sebagai Tokoh Pers Nasional




*Pemahaman Awal

Abdoel Rivai (13 Agustus 1871 – 16 Oktober 1937) adalah dokter dan wartawan Indonesia. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu dari luar negeri (Eropa), juga pribumi Indonesia pertama yang meraih gelar doktor dari Universitas Gent, Belgia.

Rivai dianugerahi gelar sebagai Perintis Pers Indonesia, pada tahun 1974 oleh Pemerintah Indonesia.

*Riwayat hidup

Abdoel Rivai lahir dari pasangan Abdul Karim dan Siti Kemala Ria. Ayahnya bekerja sebagai guru di sekolah Melayu. Rivai memiliki watak yang keras, ulet, serta otak yang cemerlang. Pada tahun 1886, di saat masih berusia 15 tahun dia diterima bersekolah di STOVIA. Setamat dari STOVIA pada tahun 1894, ia ditugaskan menjadi dokter di Medan. September 1899, Rivai melanjutkan pendidikan ke Belanda sambil membantu berbagai surat kabar di Indonesia.

Rivai merupakan orang Hindia Belanda pertama yang bersekolah kedokteran di Belanda, dan berhasil menyelesaikan pendidikan kedokterannya pada tahun 1907. Ia kemudian melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Gent, Belgia, melalui ujian terbuka dan dinyatakan lulus pada 23 Juli 1908, sekaligus mencatatkan namanya sebagai pribumi Indonesia pertama yang meraih gelar doktor di Eropa.

Pada awal abad ke-20 Rivai terlibat perdebatan dengan A.A Fokker, pejabat Belanda yang mengklaim lebih fasih berbahasa Melayu ketimbang orang Melayu itu sendiri. Dalam perdebatan ini, Fokker berang karena ada orang inlander yang berani menantangnya. Akibat kegemilangannya dalam berdebat, Rivai diperbolehkan sekolah di Utrecht.
____
Cat :

PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork PopCash.net PopCash.net

Selasa, 05 September 2023

Lebih mengenal Abdoellah Ahmad sebagai salah satu tokoh Pers Nasional

 Lebih mengenal Abdoellah Ahmad sebagai salah satu tokoh Pers Nasional 




*Pemahaman Awal


Dr. H. Abdoellah Ahmad (lahir di Padang Panjang, 1878 – meninggal di Kampung Jati, Padang, 24 November 1933 pada umur 55 tahun)adalah seorang ulama reformis yang turut membidani lahirnya perguruan Sumatra Thawalib di Sumatra Barat.


 Ia merupakan anak dari Haji Ahmad, ulama Minangkabau yang juga seorang pedagang, dan seorang ibu yang berasal dari Bengkulu. Bersama Abdul Karim Amrullah, ia menjadi orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.


*Kehidupan


Abdullah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah dan sedari kecil memperoleh pendidikan agama dari ayahnya Syekh Ahmad Alang Lawas Padang. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekkah dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899.[3] Sekembalinya dari Mekkah, ia segera mengajar di Padang Panjang sembari memberantas bid'ah dan tarekat. Ia tertarik pula untuk menyebarkan pemikiran pembaruan melalui publikasi dengan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan, seperti Al-Imam di Singapura dan Al-Ittihad dari Kairo.


Pada tahun 1906, Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menjadi guru, menggantikan pamannya, Syekh Gapuak yang meninggal dunia. Di Padang, ia mengadakan tablig dan pertemuan tentang masalah agama dan mendirikan jemaah Adabiyah beberapa tahun kemudian. Di samping itu, ia memberikan pengajian pada orang dewasa. Pengajiannya dilakukan dua kali seminggu secara bergantian dari rumah ke rumah.

____

Cat :

PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork PopCash.net PopCash.net