Berikut ini dikemukakan model-model proses komunikasi massa :
1. Model teori peluru (bullet theory model)
Teori peluru, yang juga dikenal sebagai teori “Hypodermic Needle”
atau teori “Stimulus-Response” yang mekanistis merupakan suatu
pandangan yang menyatakan, komunikasi massa memiliki kekuatan yang
besar atas mass audience. Media massa dianggap memiliki pengaruh
yang sangat besar, layaknya jarum suntik yang dimasukkan dalam
tubuh pasien, audiens menerimanya secara langsung dan pengaruhnya
spontan dirasakan. Hal ini menyebabkan adanya perubahan pemikiran
khalayak, maupun perubahan sikap dan perilakunya secara spontan.
2. Model Efek Terbatas (limited effects model)
Model ini muncul sekitar tahun 1940, ketika para ilmuwan sosial
menjadi tertarik oleh efek-efek langsung dan kuat yang ditimbulkan
oleh media massa atas individu-individu. Sejak saat itu, mulai
dilakukan penelitian-penelitian ilmiah, yang semuanya menunjukkan
kesimpulan yang sama :
pengaruh komunikasi massa adalah terbatas, tidak all-powerfull,
malahan sama sekali tidak efektif manakala tujuannya untuk
menimbulkan sikap dan/atau perilaku nyata. Model efek terbatas
ini memperoleh dukungan yang kuat dari model alir komunikasi
dua tahap (two step flow) yang menyatakan, pesan-pesan media
tidak seluruhnya mencapai mass audience secara langsung;
sebagian besar malahan berlangsung secara bertahap. Tahap pertama
dari media massa kepada para pemuka masyarakat (opinion leaders).
Tahap kedua dari pemuka masyarakat kepada khalayak ramai (mass
audience atau followers). Menurut model ini, komunikasi massa hanya
akan efektif, khususnya dalam mengubah sikap dan perilaku
(behaviour change), apabila ia dikombinasikan penggunaannya dengan
komunikasi antarpribadi (interpersonal communication).
3. Model Efek Moderat (moderate effects model)
Model ini merupakan hasil studi atau riset tentang efek yang dilakukan
pada periode 1960-1970an. Studi pada periode itu berangkat dari
posisi audiens (bukan dari posisi komunikator) dan lebih memusatkan
perhatiannya pada pola-pola komunikasi mereka, khususnya dalam
hubungannya dengan pesan-pesan media. Model ini meliputi pendekatan-
pendekatan sebagai berikut :
a). The Information-Seeking Paradigm
kecenderungan audiens untuk secara aktif mencari informasi dan tidak
semata-mata pasif menerima informasi, bergantung pada opinion leader.
Paradigma ini memusatkan perhatiannya pada perilaku individual dalam
menceri informasi dan berusaha mengidentifikasikan faktor-faktor
yang menentukan perilaku.
b). The Uses and Gratifications Approach
Pendekatan tentang kebutuhan individu terhadap pesan-pesan media
berdasarkan asas manfaat dan kepuasan. Menurut pendekatan ini,
komunikasi massa mempunyai kapasitas menawarkan sejumlah pesan
yang dapat dimanfaatkan oleh komunikannya, sekaligus dapat memuaskan
berbagai kebutuhannya. Dengan demikian, orang yang berbeda dapat
menggunakan pesan-pesan media yang sama untuk berbagai tujuan atau
maksud yang berbeda-beda. Rakhmat (2011) menyebutkan, pendekatan ini
pertama kali dinyatakan oleh Elihu Katz (1959) sebagai reaksi
terhadap Bernard Berelson yang menyatakan bahwa penelitian komunikasi
mengenai efek media massa sudah mati.
Karena penggunaan media adalah salah satu cara untuk memperoleh
pemenuhan kebutuhan, maka efek media sekarang didefinisikan sebagai
situasi ketika pemuasan kebutuhan tercapai.
c). The Agenda-Setting Function
Model lain yang termasuk model efek moderat adalah pendekatan
agenda setting yang dikembangkan oleh Maxwell E. McComb dan
Donald L. Shaw. Model ini menunjuk pada kemampuan media massa
untuk bertindak selaku agenda (catatan harian) komunikan-
komunikannya. Hal ini disebabkan media memiliki kapasitas
untuk memilih materi atau isi pesan bagi komunikannya. Materi
atau isi pesan ini diterima komunikan sebagai sesuatu yang
penting yang dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya mengenai
sesuatu hal.
Menurut teori ini, media massa memang tidak dapat mempengaruhi
orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh
terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa
mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting.
d). The Cultural Norms Theory
Menurut teori ini komunikasi massa memiliki efek yang tidak langsung
atas perilaku melalui kemampuannya dalam membentuk norma-norma baru.
Norma-norma ini berpengaruh terhadap pola sikap untuk pada akhirnya
akan mempengaruhi pola-pola perilakunya.
4. Model efek kuat
Model efek kuat ini baru merupakan suatu indikasi, pada suatu saat
orang akan benar-benar mendapati, komunikasi massa memiliki efek
yang besar, all-powerfull dalam versi yang baru. Sejumlah studi
agaknya sependapat, komunikasi massa dapat mewujudkan powerfull
effect apabila ia digunakan dalam program-program atau kampanye-
kampanye yang dipersiapkan lebih dulu secara cermat sesuai dengan
prinsip-prinsip komunikasi yang ada. prinsip-prinsip itu antara
lain sebagai berikut :
a). Prinsip mengulang-ulang (redundancy), yaitu mengulang-ulang
suatu pesan selama periode waktu tertentu. Dengan cara ini ternyata
banyak membawa hasil dibanding dengan hanya menyajikan pesan tunggal
dalam memperoleh efek yang diinginkan.
b). Mengidentifikasikan dan memfokuskan pada suatu audiens tertentu
yang ditargetkan (segmentasi khalayak), kemudia tujuan dari komunikasi
atau kampanye itu dirumuskan secara khusus dalam arti pesan-pesannya
benar-benar terkait dan terarah kepada pencapaian tujuan. Dengan
cara ini audiens merasa, pesan-pesan itu ditujukan kepadanya dan
tidak kepada setiap orang.
c). Ide atau gagasan dari teori-teori komunikasi juga dapat
digunakan dalam pengembangan tema-tema komunikasi, pesan-pesan
yang akan diciptakan dan media yang digunakan.
d). Sejumlah prinsip-prinsip yang lain.
___________________________________________________________________
Cat :
Tidak ada komentar :
Posting Komentar