Rabu, 16 September 2015

Sejarah Kode Etik Jurnalistik di Indonesia

Sejarah perkembangan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari sejarah perkembangan pers di Indonesia.

Jika diurutkan, maka sejarah pembentukan, pelaksanaan, dan pengawasan
Kode Etik Jurnalistik di Indonesia terbagi dalam lima periode.[

Berikut kelima periode tersebut:

1. Periode Tanpa Kode Etik Jurnalistik

Periode ini terjadi ketika Indonesia baru lahir sebagai bangsa yang
merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Meski baru merdeka, di Indonesia
telah lahir beberapa penerbitan pers baru.[4] Berhubung masih baru,
pers pada saat itu masih bergulat dengan persoalan bagaimana dapat
menerbitkan atau memberikan informasi kepada masyarakat di era
 kemerdekaan, maka belum terpikir soal pembuatan Kode Etik
Jurnalistik.[Akibatnya, pada periode ini pers berjalan tanpa
kode etik.

2. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 1

Pada tahun 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di Solo,
tapi ketika organisasi ini lahir pun belum memiliki kode etik.[
Saat itu baru ada semacam konvensi yang ditungakan dalam satu
kalimat, inti kalimat tersebut adalah PWI mengutamakan prinsip
kebangsaan. Setahun kemudian, pada 1947, lahirlah Kode Etik PWI
yang pertama.

3. Periode Dualisme Kode Etik Jurnalistik PWI dan Non PWI

Setelah PWI lahir, kemudian muncul berbagai organisasi wartawan
lainnya.[4] Walaupun dijadikan sebagai pedoman etik oleh organisasi
lain, Kode Etik Jurnalistik PWI hanya berlaku bagi anggota PWI
sendiri, padahal organisai wartawan lain juga memerlukan Kode
Etik Jurnalistik.

Berdasarkan pemikiran itulah Dewan Pers membuat dan mengeluarkan
pula Kode Etik Jurnalistik. Waktu itu Dewan Pers membentuk
sebuah panitia yang terdiri dari tujuh orang, yaitu Mochtar Lubis,
Nurhadi Kartaatmadja, H.G Rorimpandey , Soendoro, Wonohito,
L.E Manuhua dan A. Aziz.

Setelah selesai, Kode Etik Jurnalistik tersebut ditandatangani oleh
Ketua dan Sekretaris Dewan Pers masing-masing Boediarjo dan T. Sjahril,
dan disahkan pada 30 September 1968.

Dengan demikian, waktu itu terjadi dualisme Kode Etik Jurnalistik.
Kode Etik Jurnalistik PWI berlaku untuk wartawan yang menjadi
anggota PWI, sedangkan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers berlaku
untuk non PWI.

4. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 2

Pada tahun 1969, keluar peraturan pemerintah mengenai wartawan.
Menurut pasal 4 Peraturan Menteri Penerangan No.02/ Pers/ MENPEN/
1969 mengenai wartawan, ditegaskan, wartawan Indonesia diwajibkan
menjadi anggota organisasi wartawan Indonesia yang telah disahkan
pemerintah.

Namun, waktu itu belum ada organisasi wartawan yang disahkan oleh
pemerintah. Baru pada tanggal 20 Mei 1975 pemerintah mengesahkan
PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia.[4] Sebagai
konsekuensi dari pengukuhan PWI tersebut, maka secara otomatis
Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia
adalah milik PWI.

5. Periode Banyak Kode Etik Jurnalistik
Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, dan berganti dengan era
Reformasi, paradigma dan tatanan dunia pers pun ikut berubah.
Pada tahun 1999, lahir Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers
yaitu Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang ini membebaskan wartawan dalam
memilih organisasinya.

Dengan Undang-Undang ini, munculah berbagai organisasi wartawan baru.
Akibatnya, dengan berlakunya ketentuan ini maka Kode Etik Jurnalistik
pun menjadi banyak.[4] Pada tanggal 6 Agustus 1999, sebanyak 25
organisasi wartawan di Bandung melahirkan Kode Etik Wartawan Indonesia
(KEWI), yang disahkan Dewan Pers pada 20 Juni 2000.[4] Kemudian pada
 14 Maret 2006, sebanyak 29 organisasi pers membuat Kode Etik
Jurnalistik baru, yang disahkan pada 24 Maret 2006.
___________________________________________________________
Cat :

Tidak ada komentar :

Posting Komentar