Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974) merupakan koran pertama
di Indonesia yang mengembangkan dengan serius liputan investigative.
Berbagai berita yang disuguhkannya sering mencerminkan sikapnya untuk
“berjihad” menentang apa saja yang dipandangnya sebagai korupsi,
penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan dan ketidakbenaran, serta
feodalisme dalam sikap. Wartawan-wartawan Indonesia Raya yang dipimpin
oleh Mochtar Lubis ini betul-betul melakukan amar maruf nahi mungkar.
Salah satu liputan investigasi Indonesia Raya adalah mengungkap korupsi
besar-besaran di Pertamina. Bukan itu saja, pelbagai skandal, konflik,
manipulasi, yang terjadi di berbagai kementerian pemerintahan diungkap.
Bahkan, pernikahan diam-diam Presiden Soekarno dengan Hartini masuk dalam
laporan investigative mereka.
Indonesia Raya, lewat laporan investigasinya berusaha “melawan kekuasaan
yang dianggap bertanggungjawab atas keburukan yang terjadi di masyarakat”.
Atmakusumah, mantan wartawan Indonesia Raya, membenarkan bahwa ada
kebijakan redaksi untuk menggalakan laporan investigasi demi mengungkap
macam-macam skandal (politik dan ekonomi) yang merugikan kepentingan umum.
Pada masa Orde Baru, laporan investigasi tidak berkembang di Indonesia.
Kalaupun ada, bisa dihitung dengan jari. Mungkin ini terkait dengan iklim
kebebasan pers yang terpasung. Penerbit-penerbit takut dibreidel.
Selain itu, pers di Indonesia masih menilai laporan investigasi sebagai
laporan yang memakai “biaya tinggi”. Proses liputannya memakan waktu yang
lama dan panjang. Hasil akhirnya juga tidak pasti dan karena hal-hal
tertentu tidak semuanya bisa dimuat.
Ditambah lagi, “resiko besar” yang bisa timbul akibat peliputannya.
Investigative reporting adalah proyek berbahaya yang bisa membuat wartawan
diculik, hilang atau dibunuh seperti dalam kasus Udin, wartawan Bernas,
yang sampai saat ini kasusnya masih gelap.
Bagaimana di zaman reformasi sekarang ini? Berbeda dengan di Amerika
Serikat, yang peranan medianya dalam memerangi korupsi dan penyimpangan
lain, sudah terbukti handal sejak wartawati Ida Tarbell melakukan
investigasi tahun 1902 terhadap skandal pelanggaran perusahaan minyak
terkuat saat itu yang dipimpin John D Rockefeller, media di Indonesia
kurang bergigi dalam memberantas korupsi dan penyimpangan di kalangan
pemerintahan dan dunia bisnis.
Dalam melawan korupsi, misalnya, media di Indonesia masih sebagai pemandu
sorak (cheerleaders) atau corong pengeras suara (megaphones) dari kelompok
anti-korupsi atau aparat yang menangani kasus korupsi. Media belum bisa
menjadi sopir yang berada di depan dan mengendalikan agenda, melainkan
baru sebagai penumpang yang duduk di belakang aksi anti korupsi.
Artinya, wartawan tidak menggali dan menyelidiki kasus korupsi sendiri,
melainkan menunggu hasil laporan paar penyelidik resmi atau partikelir.
Ketimbang memburu dan mengungkap koruptor, wartawan Indonesia hanya
mengikuti mereka yang membongkar dan menyelidiki kasus-kasus korupsi.
Media di Indonesia, bukannya melakukan investigative reporting terhadap
kasus-kasus korupsi, melainkan baru pada tahap reporting on investigation.
Media-media di Indonesia masih sedikit sekali menyediakan laporan mengenai
korupsi, kolusi dan penyimpangan lain, yang betul-betul merupakan hasil
penyelidikannya sendiri.
Memang ada satu dua wartawan yang memiliki jiwa detektif seperti Bondan
Winarno. Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan itu, misalnya, melakukan
investigasi atas kematian Michael de Guzman, seorang ahli eksplorasi
perusahaan tambang minyak Bre-X, yang dinyatakan bunuh diri tahun 1997
dengan melompat dari helicopter di Busang, Kalimantan Timur.
Hasil investigasi Bondan menyimpulkan bahwa De Guzman memalsukan
kematiannya untuk meraup keuntungan dalam bisnis saham perusahaan.
Mayat “De Guzman” yang ditemukan di rawa adalah mayat orang lain.
Wartawan detektif macam Bondan masih langka di negeri ini, karena
investigative reporting yang bagus memang mahal. Pengumpulan data
membutuhkan waktu dan uang yang banyak. Meskipun mempunyai bagian
rubrik investigasi yang memproduksi laporan kritis bisa mendongkrak
prestise sebuah koran, pihak manajemen lebih mengutamakan investasi
di bidang teknologi ketimbang alokasi dana untuk investigative reporting.
Kurangnya sumber daya dan sumber dana membuat wartawan Indonesia jarang
sekali mendapatkan tugas untuk mengungkap sebuah kasus dalam jangka
waktu yang panjang. Mereka hanya menjalankan tugas rutin pencarian
berita sehari-hari yang tidak mendalam dan menanti datangnya informasi
bocoran dari sumber mengenai kasus besar yang bisa meledak di surat kabar.
____________________________________________________________
Cat :
http://www.andreasharsono.net/1999/02/apa-itu-investigative-reporting.html
di Indonesia yang mengembangkan dengan serius liputan investigative.
Berbagai berita yang disuguhkannya sering mencerminkan sikapnya untuk
“berjihad” menentang apa saja yang dipandangnya sebagai korupsi,
penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan dan ketidakbenaran, serta
feodalisme dalam sikap. Wartawan-wartawan Indonesia Raya yang dipimpin
oleh Mochtar Lubis ini betul-betul melakukan amar maruf nahi mungkar.
Salah satu liputan investigasi Indonesia Raya adalah mengungkap korupsi
besar-besaran di Pertamina. Bukan itu saja, pelbagai skandal, konflik,
manipulasi, yang terjadi di berbagai kementerian pemerintahan diungkap.
Bahkan, pernikahan diam-diam Presiden Soekarno dengan Hartini masuk dalam
laporan investigative mereka.
Indonesia Raya, lewat laporan investigasinya berusaha “melawan kekuasaan
yang dianggap bertanggungjawab atas keburukan yang terjadi di masyarakat”.
Atmakusumah, mantan wartawan Indonesia Raya, membenarkan bahwa ada
kebijakan redaksi untuk menggalakan laporan investigasi demi mengungkap
macam-macam skandal (politik dan ekonomi) yang merugikan kepentingan umum.
Pada masa Orde Baru, laporan investigasi tidak berkembang di Indonesia.
Kalaupun ada, bisa dihitung dengan jari. Mungkin ini terkait dengan iklim
kebebasan pers yang terpasung. Penerbit-penerbit takut dibreidel.
Selain itu, pers di Indonesia masih menilai laporan investigasi sebagai
laporan yang memakai “biaya tinggi”. Proses liputannya memakan waktu yang
lama dan panjang. Hasil akhirnya juga tidak pasti dan karena hal-hal
tertentu tidak semuanya bisa dimuat.
Ditambah lagi, “resiko besar” yang bisa timbul akibat peliputannya.
Investigative reporting adalah proyek berbahaya yang bisa membuat wartawan
diculik, hilang atau dibunuh seperti dalam kasus Udin, wartawan Bernas,
yang sampai saat ini kasusnya masih gelap.
Bagaimana di zaman reformasi sekarang ini? Berbeda dengan di Amerika
Serikat, yang peranan medianya dalam memerangi korupsi dan penyimpangan
lain, sudah terbukti handal sejak wartawati Ida Tarbell melakukan
investigasi tahun 1902 terhadap skandal pelanggaran perusahaan minyak
terkuat saat itu yang dipimpin John D Rockefeller, media di Indonesia
kurang bergigi dalam memberantas korupsi dan penyimpangan di kalangan
pemerintahan dan dunia bisnis.
Dalam melawan korupsi, misalnya, media di Indonesia masih sebagai pemandu
sorak (cheerleaders) atau corong pengeras suara (megaphones) dari kelompok
anti-korupsi atau aparat yang menangani kasus korupsi. Media belum bisa
menjadi sopir yang berada di depan dan mengendalikan agenda, melainkan
baru sebagai penumpang yang duduk di belakang aksi anti korupsi.
Artinya, wartawan tidak menggali dan menyelidiki kasus korupsi sendiri,
melainkan menunggu hasil laporan paar penyelidik resmi atau partikelir.
Ketimbang memburu dan mengungkap koruptor, wartawan Indonesia hanya
mengikuti mereka yang membongkar dan menyelidiki kasus-kasus korupsi.
Media di Indonesia, bukannya melakukan investigative reporting terhadap
kasus-kasus korupsi, melainkan baru pada tahap reporting on investigation.
Media-media di Indonesia masih sedikit sekali menyediakan laporan mengenai
korupsi, kolusi dan penyimpangan lain, yang betul-betul merupakan hasil
penyelidikannya sendiri.
Memang ada satu dua wartawan yang memiliki jiwa detektif seperti Bondan
Winarno. Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan itu, misalnya, melakukan
investigasi atas kematian Michael de Guzman, seorang ahli eksplorasi
perusahaan tambang minyak Bre-X, yang dinyatakan bunuh diri tahun 1997
dengan melompat dari helicopter di Busang, Kalimantan Timur.
Hasil investigasi Bondan menyimpulkan bahwa De Guzman memalsukan
kematiannya untuk meraup keuntungan dalam bisnis saham perusahaan.
Mayat “De Guzman” yang ditemukan di rawa adalah mayat orang lain.
Wartawan detektif macam Bondan masih langka di negeri ini, karena
investigative reporting yang bagus memang mahal. Pengumpulan data
membutuhkan waktu dan uang yang banyak. Meskipun mempunyai bagian
rubrik investigasi yang memproduksi laporan kritis bisa mendongkrak
prestise sebuah koran, pihak manajemen lebih mengutamakan investasi
di bidang teknologi ketimbang alokasi dana untuk investigative reporting.
Kurangnya sumber daya dan sumber dana membuat wartawan Indonesia jarang
sekali mendapatkan tugas untuk mengungkap sebuah kasus dalam jangka
waktu yang panjang. Mereka hanya menjalankan tugas rutin pencarian
berita sehari-hari yang tidak mendalam dan menanti datangnya informasi
bocoran dari sumber mengenai kasus besar yang bisa meledak di surat kabar.
____________________________________________________________
Cat :
http://www.andreasharsono.net/1999/02/apa-itu-investigative-reporting.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar