Sabtu, 03 Oktober 2015

Rohana Kudus (Tokoh Pers)

























* Pemahaman Umum

Rohana Kudus (lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat,
20 Desember 1884 – meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972 pada umur
87 tahun) adalah wartawan Indonesia. Ia lahir dari ayahnya yang
bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibunya bernama Kiam.

Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri
Indonesia yang pertama dan juga mak tuo (bibi) dari penyair terkenal
Chairil Anwar. Ia pun adalah sepupu H. Agus Salim. Rohana hidup pada
zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat
pendidikan yang baik sangat dibatasi. Ia adalah perdiri surat kabar
perempuan pertama di Indonesia.

* Latar belakang

Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat
pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana
termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa
diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat
pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan.

Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya
Rohana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.

Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun
ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda
yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan
dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai
materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda
Rohana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda.

Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat
ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan pejabat
Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar
menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian
perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan
Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan
pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.
Pendidikan dan wirausaha

Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali
ke kampung dan menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Kudus yang
berprofesi sebagai notaris. Rohana mendirikan sekolah keterampilan
khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama
Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai
keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan,
tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda.

Banyak sekali rintangan yang dihadapi Rohana dalam mewujudkan cita-
citanya. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh
dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat
Koto Gadang, bahkan fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring
dengan keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan. Namun gejolak
sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin yakin
dengan apa yang diperjuangkannya.

Selain berkiprah di sekolahnya, Rohana juga menjalin kerjasama
dengan pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan
kebutuhan jahit-menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Disamping
itu juga Rohana menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan
muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan
sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan
pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama
di Minangkabau.

Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Rohana.
Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Rohana juga menulis puisi dan
artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan
orang yang berpendidikan tinggi, wawasannya juga luas. Kiprah Rohana
menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis
di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan
perempuan pertama di Sumatera Barat.

Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan
pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya
menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang
diberi nama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu
merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin
redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.

Kisah sukses Rohana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung
lama pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya
hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester
karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi
beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya,
seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga. Setelah
beberapa kali persidangan tuduhan pada Rohana tidak terbukti, jabatan
di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun dengan halus
ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.

Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”.
Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk
menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana
School sangat terkenal muritnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi
tapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Rohana sudah cukup
populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai
Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.

Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya keterampilannya
dengan belajar membordir pada orang Cina dengan menggunakan mesin
jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir
Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya
sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi
agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa.

Dengan kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran mengajar
di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan
tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi kepercayaan mengisi pelajaran
keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini adalah lulusan
sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal.

Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan
juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik,
sastra, dan teknik menulis jurnalistik.

Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar.
Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap
pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu
menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak
Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan
menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan
dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat
pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani
dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang
kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”.

Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan
hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi
alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi
sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan
dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.
Pergerakan

Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi,
Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang
membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya
dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga
mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke
Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam
sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.

Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika
merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin
surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur
surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat
kabar Cahaya Sumatera. Perempuan yang wafat pada 17 Agustus 1972 itu
mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara, serta menjadi kebanggaan
bagi kaum hawa yang diperjuangkannya.

Demikianlah Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya dengan beragam
kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan
bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah
diusung Rohana. Selama hidupnya ia menerima penghargaan sebagai
Wartawati Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9
Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai
Perintis Pers Indonesia. Dan pada tahun 2008 pemerintah Indonesia
menganugerahkan Bintang Jasa Utama.
______________________________________________________________________
Cat :

Tidak ada komentar :

Posting Komentar